
“Quand la Chine s’éveillera, le monde tremblera”
“ketika China akan bangkit maka dunia akan terguncang” – Alain Prayer Vite
Oleh : Muh. David Ibrahim *)
PCINU Tunisia – Tatanan global yang selama ini didominasi oleh kekuatan Barat dengan berbagai aliansinya, kini menemui rival yang akan menggoncangkan tatanan global Barat bahkan seluruh dunia. Para pengamat politik telah lama memperingatkan bahaya hegemoni China yang mulai bangkit dan akan berdampak pada kestabilan hegemoni Amerika beserta aliansinya dalam memimpin tatanan global.
Kekhawatiran ini juga diungkapkan oleh Zbigniew Brzezinski, mantan penasehat keamanan Amerika Serikat, yang menyoroti pesatnya perkembangan China yang begitu cepat. Ditambah juga, aliansi kedekatan antara China dan Rusia setelah runtuhnya Uni Soviet, akan semakin memperkuat ancaman berlangsungnya tatanan global yang telah diciptakan oleh Barat.
Kebangkitan China tampaknya dianggap sebagai kenyataan yang mengejutkan bagi Amerika Serikat, terutama setelah dihadapkan posisi yang tidak strategis dalam mempertahankan eksistensi hegemoninya. Hal ini ditandai dengan keterlibatanya dalam sejumlah konflik yang pada akhirnya memunculkan beberapa front dalam tiga dekade terakhir, mulai dari perang Afghanistan dan irak, konflik Rusia-Ukraina, hingga ketegangan konflik yang berlangsung di Gaza dan permasalahan dengan Iran.
Keterlibatan AS dalam berbagai konflik ini membuatnya dinilai gagal dalam menjaga keamanan serta perdamaian dunia bahkan menimbulkan ketidakstabilan dalam tatanan global. Keadaan ini membuat China lebih leluasa dalam melancarkan misinya dengan membuat tantangan baru bagi Amerika Serikat yang khawatir dengan rival barunya. Ditambah gagalnya Amerika Serikat dan Barat dalam intervensi konflik Rusia-Ukraina, dengan dukungan militer yang diberikan kepada kiev yang bertujuan untuk mengalahkan Moskow, serta misinya untuk menyudutkan peran Moskow, dan menghilangkan ambisinya untuk kembali dalam persaingan kekuatan dan pengaruh global.
Perlu diketahui bahwa China yang dianggap rival baru bagi AS dalam hegemoninya di tingkat global tidak bisa dilepaskan oleh beberapa isu-isu panas baik secara regional maupun global. Tak hanya membuat hubungan kedua negara renggang, akan tetapi juga semakin meningkatkan persaingan kedua pihak dalam melancarkan misinya baik secara ekonomi, teknologi, militer, diplomasi, dan lain sebagainya.
Ketegangan Geopolitik sekitar Taiwan
Dari beberapa isu yang panas adalah permasalahan internal China dengan Taiwan yang diintervensi oleh Amerika Serikat. Dimulai dari ketegangan geopolitik mengenai Taiwan yang dibantu AS untuk menggagalkan China dalam upaya menyatukan dibawah kendali China. Bermula dari terpilihnya partai progresif demokratis di Taiwan pada tahun 2016 yang dipimpin oleh Tsai Ing-Wen, hal ini menambah kekuatan oposisi di Taiwan semakin kuat, terutama Tsai Ing-Wen yang menolak dengan keras terhadap propaganda “China Bersatu”.
Dalam menghadapi hal tersebut, pada tahun 2022 China meluncurkan beberapa manuver besar untuk memberi peringatan terhadap hasutan Taiwan dan Amerika Serikat, yang pada waktu itu seorang pejabat Dewan Perwakilan Rakyat AS, Nancy Pelosi berkunjung ke Taipei. Sebagaimana pada tahun 2024, China kembali meluncurkan pelatihan laut dan udara dengan skala yang luas di sekitar Taiwan sebagai bentuk peringatan yang tegas bagi para oposisi. Upaya ini terus berlanjut pada musim semi 2025, China mengepung dari arah utara, selatan dan timur dengan melibatkan puluhan kapal dan pesawat perang.
Disisi yang lain, Amerika Serikat menekankan dukungannya melalui pidato para pejabat serta memberi dukungan persenjataan bagi Taiwan dalam menghadapi konflik ini. Bahkan dukungan Amerika secara jelas diungkapkan oleh Joe Biden, mantan presiden Amerika pada waktu itu akan konsistensinya dalam memberikan dukungannya kepada Taiwan dan bersiap untuk ikut campur secara militer jika China melancarkan agresi ke Taiwan. Pendekatan yang sama juga dilakukan oleh Tramp, setelah kembalinya ke Gedung Putih untuk memimpin Amerika, seakan ia memberikan pesan peringatan yang serius bagi China, hal ini dilakukan dengan menekankan perlawanan militer di daerah benua Pasifik dan Hindia serta meningkatkan kehadiran di dekat Taiwan.
Peringatan keras kepada China semakin bertambah pada akhir-akhir ini, setelah Trump mengeluarkan putusan dengan menambah Tarif bea cukai bagi produk China dengan persentase yang sangat tinggi. Hal ini secara tidak langsung menimbulkan perang dagang yang berdampak secara meluas bagi ekonomi di dunia. Ditambah balasan kenaikan bea cukai yang dikeluarkan China untuk Amerika yang pada akhirnya berdampak pada kerugian perekonomian Amerika itu sendiri. Mengingat dampak yang dirasakan kedua negara, akhirnya kesepakatan penurunan tarif Bea Cukai dicapai dengan prosentase penurunan bagi tarif China dari 145% menjadi 30%, dan penurunan tarif bagi AS dari 125% menjadi 10%, kesepakatan yang akan berlangsung selama 90 hari.
Konflik di Laut China Selatan
Laut China Selatan merupakan kawasan yang begitu strategis, selain menjadi jalur pelayaran perdagangan global, kawasan tersebut juga menyimpan berbagai sumber daya alam, yang tentunya kawasan tersebut menjadi perihal yang sensitif bagi negara-negara di sekitarnya. Termasuk China yang beranggapan bahwa 90% dari wilayah tersebut merupakan dibawah wilayahnya. Tetapi negara-negara yang disekitarnya seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam dan Taiwan menyanggah klaim China dan menuntut bagian mereka masing-masing, mengingat kawasan tersebut merupakan warisan bersama yang ada sebelum kemerdekaan China pada tahun 1949.
Hal tersebut kian memanas ketika Amerika mengintervensi permasalahan kepemilikan laut China selatan dengan memberi dukungan kepada pihak Vietnam dan Filipina. Salah satu manuver Amerika yang bertujuan untuk melemahkan hegemoni maritim China, tak luput Amerika juga meluncurkan pertahanan militer di kawasan tersebut. Amerika Serikat menganggap bahwa kawasan tersebut merupakan perairan internasional yang terbuka tanpa hak milik sebuah negara tertentu termasuk China. Di Sisi lain China tetap bersikeras mengakui hak milik kawasan tersebut.
Persaingan Supremasi Teknologi antara AS dan China
Pada abad ini, munculnya AI dianggap sebagai kunci penting dalam melancarkan hegemoni di kawasan global. AI tidak hanya dianggap sebagai sebuah teknologi saja tetapi menjadi alat penting dalam penguasaan jangka panjang baik dalam sektor ekonomi maupun kekuatan militer. Bahkan AI dianggap mampu mengubah keseimbangan kekuatan yang menjadi ajang perebutan selama perang dingin berlangsung.
Bersamaan dengan hal tersebut China telah meluncurkan rancangan ambisinya semenjak 2017 yang bertujuan untuk mendominasi AI dan berupaya menjadi negara terdepan pada tahun 2030. Begitu pula AS tak mau kalah dengan rivalnya, ia berupaya membentuk strategi nasional untuk AI dengan berbagai perusahaan besar seperti Google dan Microsoft.
Dalam memprediksi atas kemenangan hegemoni AI diantara keduanya memang sulit dan kompleks, sebagaimana yang diungkapkan oleh Dr. Abdul Hafidz, seorang penulis Maroko melalui artikel yang diunggah di kabar berita platform Al-Jazeera “Jawabanya tampaknya sulit dan kompleks, Amerika Serikat mempertahankan keunggulannya dalam pendanaan dan investasi, sementara China memimpin dalam volume penelitian dan beberapa bidang aplikasi. Persaingan semakin memanas antara Washington dan Beijing atas semikonduktor, mesin yang menggerakkan algoritma kecerdasan buatan”.
Untuk mencegah dan memperlambat kemajuan teknologi China di bidang AI, AS berupaya untuk mengurangi akses China dalam mendapatkan chip dan peralatan manufaktur terbaru. Dalam mengatasi hal ini, China berupaya untuk melakukan kemandirian produksi dengan menginvestasikan puluhan miliar untuk mendukung sejumlah perusahaan dan institut untuk melahirkan para pakar di bidang industri chip.
Memang dunia ini sedang dilanda persaingan yang sengit, ditandai dengan tirai digital sebagaimana tirai besi dalam perang dingin. Secara tidak langsung pada abad sekarang, tatanan global terbagi menjadi dua: pertama, AS dan para sekutunya dengan berbagai perangkat dan produksi teknologinya. Kelompok ini mengklaim akan bahaya hegemoni China dalam merusak kebebasan, demokrasi dan nilai-nilai barat jika tidak dilawan. Sedangkan China yang didasarkan alternatif regionalnya menampilkan dirinya sebagai penentang hegemoni barat serta monopolinya, dan membela sistem global multipolar.
Dengan begitu setelah lamanya kurun waktu hegemoni barat yang hampir secara mutlak menguasai tatanan global, kini dihadapkan ancaman baru bahkan pesaing yang serius, mengingat China telah mulai bangkit dan maju melalui beberapa sektor perdagangan, teknologi, dan militer.
Akankah China akan memimpin kekuasaan tatanan global di masa mendatang ataukah AS beserta aliansinya dapat mempertahankan hegemoninya ?
*) Mahasiswa S1 Universitas Az-Zaitunah