Kolom
Trending

Aisyah dan Kritik Wacana Kepemimpinan Perempuan di Masa Awal Islam

PCINU Tunisia – Salah satu problematika yang masih menjadi perhatian bagi para akademisi dan peneliti hingga sekarang adalah isu perempuan. Dunia sedang gencar-gencarnya menyerukan kesetaraan gender untuk memberikan posisi perempuan agar setara dengan laki-laki. Walaupun sudah ada usaha menafsirkan ulang wacana-wacana perempuan di dalam teks tradisional agama, tetap saja muncul sebuah penolakan dan dianggap sebagai menyalahi tradisi yang telah diwariskan secara turun menurun.

Masyarakat kita cenderung mengembalikan persoalan-persoalan yang dihadapi kepada teks agama, tanpa adanya penafsiran ulang. Seperti halnya isu kepemimpinan perempuan. Bagaimana jika wacana tersebut berasal dari kitab sejarah yang kita anggap paling otentik dan resmi? Tanpa kita sadari, bahwa masyarakat kita telah terbentuk persepsi yang telah mengakar di benak masyarakat dalam melihat perempuan secara sebelah mata dan mengucilkan mereka dari keterlibatan perempuan dalam urusan publik di sepanjang era sejarah.

Najia Warimi, pemikir dan pejuang feminis asal Tunisia, ia menolak sejarah sebagai narasi yang tunduk dengan politik dan kekuasaan. Sebagian besar sejarah yang dituliskan oleh sejarawan terkenal di kalangan islam sekalipun, mereka tidak menarasikan secara obyektif apa yang terjadi pada saat itu. Terdapat usaha menyimpang dalam rekaman sejarah mereka yang sangat terpengaruhi oleh latar belakang mazhab, sosial dan politik kekuasaan yang melingkupinya.

Dalam bukunya, Za‘āmah al-Mar’ah fī al-Islām al-Mubakkir, menyingkap permasalahan wacana kepemimpinan perempuan yang dituliskan oleh “sejarawan resmi” yang cenderung menarasikan secara negatif dan merendahkan. Sebaliknya, sejarah yang diwariskan oleh cerita rakyat -yang tidak populer dan terpinggirkan- seperti yang direkam oleh al-Waqidi dalam bukunya “Futuh”, malahan lebih cenderung menampilkan pandangan yang positif terkait keahlian dan keterampilan para pemimpin perempuan pada bidang politik dan militer.

Penulis Najia Warimi memfokuskan pada penelitian kasus kepemimpinan perempuan yang terjadi pada masa Islam awal. Yang menjadi titik perhatiannya, adalah model kepemimpinan Sajah, Aisyah, dan Kahinah Dihya. Sebenarnya masih banyak contoh-contoh model kepemimpinan perempuan yang sangat luar biasa menginspirasi, akan tetapi tidak cukup untuk diteliti secara panjang lebar di dalam bukunya.

Jika dilacak dari aspek kebahasaan saja misalnya, kata pemimpin atau kepemimpinan dalam bahasa Arab relatif dituliskan dengan kosakata maskulin. Katakanlah seperti “za’imah, qaidah, atau ra’isah” dalam bentuk muannats, secara umum itu tidak ditemukan di kitab-kitab sejarah. Hal ini, menurut Najia secara jelas terjadi adanya bias gender terhadap peran perempuan yang dituliskan oleh para sejarawan, baik itu mereka yang memiliki latar belakang Sunni, Syi’ah dan maupun Khawarij.

Dalam litertur-literatur Arab klasik, kisah-kisah yang berkaitan dengan Jazirah Arab pra Islam, mereka itu tidak mengenal Tuhan selain perempuan. Artinya, bahwa perempuan pada masa tersebut memiliki kesakralan dan posisi yang penting. Seperti tradisi kepercayaan paganisme, masyarakat Arab mengenal beberapa tuhan perempuan yang dipuja, seperti al-Lat, al-Uzza, al-Manat. Hal tersebut menunjukkan, bahwa jauh sebelum Islam itu datang, masyarakat Arab secara simbolik memosisikan perempuan sebagai peran yang sakral. Kepemimpinan perempuan bagi masyarakat Arab sudah menjadi hal yang tidak asing lagi, baik itu pra maupun pasca Islam datang.

Kisah yang sering kita dengar tentang Aisyah dalam peperangan melawan Ali, menggambarkan seolah-olah Aisyah itu benar-benar memimpin pasukan dan terlibat langsung dalam pertempuran. Akan tetapi, jika ditelusuri dan diteliti lebih dalam, terutama dari sumber rujukan sejarah resmi, seperti Tarikh Thabari, Tarikh Ibnu Khaldun, al-Muntadzam Ibnu al-Jauzi dan lain sebagainya, ternyata tidaklah berbicara demikian.

Peristiwa Aisyah, Istri Rasulullah, menurut Najia Warimi ketika memimpin perang melawan pasukan Ali. Dalam kitab-kitab sejarah secara umum, mereka -para sejarawan resmi- setidaknya menuliskan terhadap gerakan Aisyah dalam tiga kategori; pertama, menjauhkan Aisyah dari lingkaran politik. Kedua, kritik tidak langsung kepada Aisyah dengan narasi perang Jamal. Ketiga, kritik langsung kepada kepemimpinan Aisyah.

Aisyah seolah-olah tidak pernah muncul sebagai figur pemimpin militer dalam peperangan tersebut. Berdasarkan sumber riwayat yang dikumpulkan oleh sejarawan, Aisyah tidak menunjukkan jika Ummul Mu’minin itu mengambil alih komando atau mengatur strategi peperangan. Dikatakan bahwa, Aisyah itu tidak berniat untuk melakukan pemberontakan politik atau menjadi pemimpin perang, akan tetapi keluar dari Madinah pada saat pengepungan rumah Utsman karena takut terhadap keselamatannya. Sebab, pemberontak telah menyakiti siapapun yang mencoba untuk membela Utsman, sebagaimana yang terjadi pada Ummu Habibah ketika berusaha untuk menemuinya. Aisyah pun khawatir akan terjadi hal serupa.

Peran Aisyah juga diriwayatkan hanya dalam konteks membangkitkan semangat penduduk Makkah untuk menuntut balas atas terbunuhnya Utsman dan menekan Ali agar memberikan qishas bagi pelaku yang membunuh Utsman. Dalam riwayat, Aisyah tidak ada niat untuk ikut serta dalam peperangan. Jadi, narasi yang menggambarkan Aisyah sebagai tokoh militer itu sangat jauh dari kenyataan sejarah yang sebenarnya. Padahal, Aisyah sendiri dikenal dengan kecerdasannya dan memiliki peran penting dalam banyak hal, akan tetapi bukan dalam urusan taktik perang.

Kritik tidak langsung yang diarahkan kepada Aisyah di dalam kitab-kitab sejarah dengan narasi al-Jamal (unta). Jadi, kisah yang diangkat bukanlah sosok ketangguhan Aisyah dan bala pasukannya, termasuk Thalhah dan Zubair, tapi untanya Harb al-Jamal (perang jamal/ perang unta) bukan sebagai Harb Aisyah (perang Aisyah), sementara pengikut pihak Aisyah disebut dengan al-Jamaliyy, bukan dengan al-‘Aisyii. Menurut Najia, hal ini jelas merupakan strategi pengalihan atau penyamaran yang dilakukan oleh sejarawan yang bertujuan untuk menjaga kesucian Aisyah sebagai istri Nabi. Secara implisit mencela keterlibatan perempuan dalam urusan politik dan militer, serta memperkuat citra perempuan ideal ala fikih, yang tugas perempuan cukup berdiam dan tinggal di rumah.

Dalam kajian literatur Syiah, Najia Warimi juga menyoroti adanya usaha kritik keras yang ditujukan kepada Aisyah, khususnya terkait keterlibatannya dalam pemberontakan terhadap Ali. Aisyah dicap sebagai sosok yang keras kepala, bertindak diluar batas perempuan, dan bahkan dianggap sebagai orang yang telah melakukan dosa besar. Kritik ini tidak berhenti pada figur Aisyah semata, akan tetapi juga meluas menjadi narasi yang mendiskreditkan peran perempuan secara umum. Dalam konteks ini, wacana Syiah menyandarkan pandangan mereka pada sejumlah hadis yang dinisbatkan kepada Ali, sebagai legitimasi untuk memperkuat citra negatif terhadap perempuan.

Wacana kepemimpinan perempuan sebagaimana yang diteliti oleh Najia Warimi, membuka ruang terbuka dan kritis bagi kita untuk menafsirkan ulang terhadap narasi sejarah resmi yang telah mendominasi dan bias terhadap gender. Karena sejarah yang selama ini kita anggap otentik dan resmi, juga tidak luput dari pengaruh ideologi, sosial politik, dan kekuasaan yang mengitarinya. Najia, juga menyerukan agar mengkaji teks-teks sejarah maupun agama secara kontekstual agar dapat memberikan ruang bagi peran perempuan secara adil dan setara.

Muhammad Yusril Muna

Ketua PCINU Tunisia

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button