Bunuh Diri Filsafat Hidup Manusia Modern

Paradoks Eksistensial dan Jalan Buntu Dunia Tanpa Tuhan. “Dari Anti-Natalisme ke Metamodernisme” Krisis Makna dalam Dunia Pascakepercayaan
PCINU Tunisia – Di tengah kemajuan teknologi, kebebasan individu, dan melimpahnya pilihan hidup modern, dunia justru dihadapkan pada krisis paling mendasar, yaitu kehilangan makna. Kehampaan eksistensial yang dahulu hanya menjadi tema para filsuf, kini telah menjelma menjadi kegelisahan kolektif umat manusia. Krisis ini bukan sekadar psikis, melainkan telah membentuk aliran filsafat, etika, bahkan gerakan global yang mempertanyakan apakah hidup itu sendiri layak dijalani.
Bersumber dari Camus dan Absurditas Eksistensial, Albert Camus dalam karyanya The Myth of Sisyphus mengungkapkan fondasi tragedi eksistensial manusia dalam frasa tajam: “Man is the only creature who refuses to be what he is.” Manusia adalah satu-satunya makhluk yang sadar akan dirinya, namun menolak menerima realitas dirinya, ia haus makna, namun hidup dalam dunia yang tak menyediakan makna objektif. Penolakan Camus terhadap bunuh diri filosofis maupun literal, melahirkan konsep “pemberontakan sadar”—hidup dalam absurditas tanpa menyerah. Namun, logika ini justru membuka pintu bagi konsekuensi etis yang lebih ekstrem: jika hidup memang absurd dan penuh penderitaan, mengapa harus terus berlanjut?
Hal ini merujuk pada Anti-Natalisme: Logika Mati dari Etika Tanpa Tuhan. Anti-Natalisme adalah manifestasi ekstrem dari absurditas ateistik. David Benatar dalam Better Never to Have Been berargumen bahwa melahirkan manusia adalah tindakan tidak bermoral karena mendatangkan penderitaan yang tak terelakkan.
Logika ini dibangun atas tiga premis. Pertama, Penderitaan itu nyata dan universal. Kedua, Tidak ada manusia yang bisa memilih untuk dilahirkan, dan ketiga, Maka lebih baik tidak dilahirkan sama sekali. Dari sini lahir gerakan sterilitas sukarela, kampanye anti-kelahiran, dan etika “negatif” yang menilai kehidupan sebagai beban, bukan anugerah.
Gerakan ini menyebar dalam berbagai bentuk, mulai dari ekofasisme (yang melihat kelahiran sebagai ancaman ekologis) hingga kampanye moral yang menyerukan penghapusan generasi baru demi ‘kebaikan mereka sendiri’.
Tapi pertanyaannya, bisakah sistem moral yang menganjurkan ketiadaan sebagai nilai tertinggi disebut sebagai etika yang sehat dan koheren?
Lalu pada, Posmodernisme dan Metamodernisme: Antara Dekonstruksi dan Pendulum Ambigu. Setelah proyek modernisme dan ateisme gagal menjawab makna, posmodernisme datang dengan menggugat seluruh struktur makna. Jean-François Lyotard menyatakan “akhir dari grand narrative”—tidak ada lagi kebenaran universal, hanya fragmen-fragmen lokal dan subjektif. Namun relativisme ini hanya memperdalam krisis, melahirkan generasi skeptis yang hidup dalam ironi dan sinisme. Sebagai respon terhadap kelelahan posmodernisme, lahirlah metamodernisme, yaitu gaya hidup dan pemikiran yang hidup di antara dua kutub—antara harapan dan ironi, antara iman dan kesadaran bahwa semua itu mungkin palsu.
Metamodernisme adalah upaya merekonstruksi makna tanpa fondasi ontologis. Ia seperti ingin beriman, tapi tidak percaya; ingin hidup penuh nilai, tapi mengakui semua nilai itu fiksi. Inilah wajah baru dunia pasca-ateistik:
Manusia ingin kembali pada makna, tapi tidak mau kembali kepada Tuhan
Evaluasi filosofis menemukan bahwa semua jalan tanpa Tuhan berujung buntu.
SISTEM MAKNA | TUJUAN HIDUP | SOLUSI TERHADAP PENDERITAAN | KEKUATAN |
CAMUS-EKSISTENSIALISME TEMPORER | PEMBERONTAKAN SADAR | BERTAHAN DALAM ABSURDITAS | LEMAH DAN TEMPORER |
ANTI-NATALISME DESTRUKTIF | PENOLAKAN KELAHIRAN | HINDARI PENDERITAAN TOTAL | NEGATIF |
METAMODERNISME | HIDUP DALAM IRONI | TIDAK ADA SOLUSI | AMBIGU DAN TIDAK KONSISTEN |
ISLAM | KESADARAN TAUHID | PENDERITAAN UJIAN BERMAKNA KUAT | OBJEKTIF, KOHEREN |
Dari hal ini tampak jelas bahwa hanya Islam yang menyatukan dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis secara konsisten. Islam tidak menolak kenyataan pahit hidup, tapi memberinya konteks ilahi. Penderitaan bukan sia-sia, tapi jalan menuju kedewasaan spiritual dan kebahagiaan abadi. Hidup bukan beban yang harus ditolak, tapi amanah yang harus dijalani.
Menurut Pandangan Islam, jalan hidup yang bermakna dan rasional dalam al-Qur’an, yaitu manusia ditegaskan sebagai makhluk mulia (QS 17:70) yang diciptakan untuk satu misi utama: menyembah dan mengenal Tuhan (QS 51:56).
Islam tidak mengharuskan kita menciptakan makna sendiri, melainkan mengajak kita menemukan dan menjalani makna yang sudah tertanam dalam fitrah dan wahyu. Setiap penderitaan memiliki nilai, setiap ujian mengandung rahmat, dan setiap kehidupan memiliki arah. Konsep seperti tauhid, akhirat, sabar, ridha, jihad, dan amal shalih adalah sistem nilai yang bukan hanya spiritual, tapi juga logis, praktis, dan eksistensial.
Islam tidak membebani manusia dengan dogma tanpa akal, tapi membimbing akal untuk mengenali kebenaran yang bersifat transenden sekaligus rasional, maka Islam sebagai Jalan Pulang. Adanya kebingungan dunia modern, tidak lahir karena manusia terlalu sedikit berpikir, tapi karena ia menolak berpikir sampai tuntas. Ia menolak premis paling logis: bahwa manusia bukan sumber makna, tapi penerima makna. Ketika semua jalan filsafat modern berujung pada absurditas, penolakan kehidupan, dan ironi tak berujung, maka Islam hadir bukan sekadar sebagai agama—tapi sebagai satu-satunya sistem hidup yang utuh dan waras.
Bukan karena Islam menghindari penderitaan, tapi karena Islam memberinya makna. Dan bukan karena Islam menjanjikan hidup mudah, tapi karena ia menawarkan hidup yang layak dijalani.