Kolom

Palestina, Pengakuan dan Bayangan Implementasi

PCINU Tunisia – Indonesia kembali menegaskan komitmen solusi dua negara (two state solution) antara Palestina dan Israel dipanggung Perserikatan Bangsa-Bangsa. Penegasan itu disampaikan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto saat Konferensi Internasional Tingkat Tinggi di Gedung PBB, New York, Amerika Serikat, baru-baru ini.

Momentum tersebut merupakan suatu kehormatan dan  sekaligus kepercayaan besar dunia internasional kepada Indonesia. Dengan menempati posisi pidato ke-tiga setelah Brasil dan Amerika Serikat, Indonesia dinilai mampu memainkan peran penting dalam percaturan diplomasi global. Posisi itu menjadi simbol keberhasilan diplomasi Indonesia yang konsisten memperjuangkan perdamaian dan menempatkan dirinya sebagai juru bicara keadilan internasiomal.

Indonesia terus mendorong solusi damai di tengah genosida yang telah berlangsung hampir dua tahun terakhir yang terjadi di jalur Gaza. Dunia kini juga diguncang oleh gelombang besar pengakuan terhadap Palestina, terutama setelah digelarnya Deklarasi New York yang diprakarsai oleh Prancis dan Arab Saudi. Hingga saat ini, sudah tercatat ada 147 negara yang menyatakan pengakuan atas Palestina.

Dalam konteks ini, negara-negara Eropa yang notabene blok pendukung Israel telah bergeser dengan menyatakan pengakuannya terhadap Palestina. Negara-negara seperti Australia, Kanada, Portugal, bahkan Inggris -yang secara historis menjadi aktor fundamental dalam lahirnya krisis Palestina dalam deklarasi Balfour pada tahun 1917- kini menyatakan pengakuan terhadap Palestina. Fenomena ini menjadi sinyal kuat bahwa opini global mulai berbalik arah.

Pertanyaannya adalah apakah ada konsekuensi hukum nyata setelah adanya pengakuan? Atau, semua itu hanya sebatas bayang-bayang semu? Karena seluruh keputusan final berada di tangan Dewan Keamanan PBB, dimana Amerika Serikat memegang hak veto yang selama ini digunakan untuk mendukung Israel secara buta.

Jika merujuk statement dari pakar hukum asal Prancis, Monique Chemillier-Gendreau menyatakan bahwa pengakuan terhadap negara Palestina itu tidak berarti apa-apa tanpa adanya implementasi keberlanjutan. Karena menurutnya, sejak awal pendiriannya, entitas zionis Israel memang tidak pernah memiliki niat untuk hidup berdampingan dengan Palestina. Tujuan utamanya adalah mencaplok seluruh wilayah dan menolak eksistensi negara Palestina.

Sejarah menunjukkan, entitas zionis sejak awal berdiri telah menunjukkan sikap berada di atas hukum dan norma internasional. Dengan dukungan penuuh dari sekutu abadinya Amerika Serikat, entitas tersebut seolah menantang dunia untuk terus menjalankan megaproyek pendirian negara yang disebut Israel Raya.

Langkah tersebut tidak lain hanyalah menjadi simbol belaka jika tidak dibarengi dengan tindakan nyata dan konkret di lapangan, seperti pemberlakuan sanksi besar terhadap zionis Israel, juga melakukan embargo militer, ekonomi, perdagangan, dan penolakan kerja sama.

Akan tetapi, tekanan Internasional dan gelombang demo besar-besaran yang terjadi di banyak negara dunia telah membalikkan opini publik dan memaksa pemerintah Barat untuk tunduk terhadap tuntutan rakyatnya. Tekanan masyarakat memaksa sejumlah pemerintahan untuk merevisi kebijakan luar negerinya. Dengan demikian, pengakuan oleh negara-negara yang sebelumnya menjadi sekutu Israel, justru menjadi peringatan keras terhadap kebijakan zionis yang semakin brutal.

Meskipun pengakuan hanya bersifat simbolik, tetapi dampaknya tidak bisa diremehkan. Israel dan Amerika Serikat kini ditempatkan di pinggiran arena diplomasi Internasional. Karena dalam persepsi masyarakat global, keduanya semakin dipandang sebagai pelaku genosida dan perusak tatanan hukum internasional. Sentimen negatif terhadap Israel kian meningkat, menjadikannya terkucilkan dan terisolasi secara global.

Dampak penting lainnya adalah internasionalisasi isu Palestina. Jika sebelumnya kemerdekaan Palestina lebih banyak diperjuangkan oleh dunia Arab dan negara-negara Muslim, kini isu tersebut telah menjelma menjadi agenda kemanusiaan global. Suara dukungan terhadap Palestina menggema seantero penjuru dunia untuk menyerukan kemerdekaan dan penghentian kejahatan kemanusiaan.

Namun, pengakuan tanpa implementasi hanya akan berakhir sebagai catatan simbolis di atas kertas. Tantangan terbesar ke depan adalah bagaimana komunitas internasional mampu mengubah simpati global menjadi instrumen tekanan yang nyata terhadap israel. Baik itu melalui embargo miiter, sanksi ekonomi, pemutusan kerja sama diplomatik, atau melalui mekanisme hukum internasional di Mahkamah Pindana Internasional (ICC).

Pada akhirnya, perjuangan untuk mewujudkan negara Palestina merdeka tidak bisa hanya bergantung pada angka pengakuan diplomatik. Tanpa langkah nyata, pengakuan yang kini telah mencapai ratusan jumlahnya akan tetap menjadi bayangan semu dari keadilan yang terus tertunda.

Muhammad Yusril Muna

Ketua PCINU Tunisia

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button