Kolom
Trending

Ngaji Muqaddimah Gus Dubes : Negara Akan Jatuh Kalau Tidak Ada Pembangunan

PCINU Tunisia – “Negara akan jatuh kalau tidak ada pembangunan.” Kalimat ini disampaikan Gus Dubes saat mengkaji teori besar Ibnu Khaldun tentang pembangunan. Sejak enam abad lalu, Ibnu Khaldun telah menegaskan bahwa umur negara bergantung pada kemampuan membangunnya. Jika negara kuat, pembangunan berlanjut. Jika lemah, pembangunan terhenti dan kota-kota hancur. Dengan kata lain, keberlangsungan bangsa diukur dari apa yang ia bangun dan bagaimana ia merawatnya. Negara hanya bisa bertahan sejauh ia mampu membangun.

Menurut Gus Dubes, pembangunan merupakan tanda kemajuan sebuah bangsa. Sejak dahulu, peradaban selalu diukur dari sejauh mana ia mampu membangun. Ia menegaskan bahwa infrastruktur Indonesia pernah tertinggal dibandingkan dengan negara-negara maju. Padahal, pembangunan infrastruktur penting, tidak hanya sebagai fungsi praktis, tetapi juga menjadi simbol kemajuan dan harga diri bangsa.

Di Tunisia, misalnya, berdiri Bab Bahr, sebuah gerbang kota yang menjadi simbol kejayaan sekaligus pusat aktivitas ekonomi. Letaknya dekat pasar, menjadi ruang interaksi sosial dan perdagangan. Menurut Gus Dubes, contoh ini menunjukkan bahwa pembangunan selalu menyatu dengan kehidupan masyarakat. Bangunan bukan sekadar monumen kosong, tetapi ruang hidup yang menyatukan orang banyak.

Sejalan dengan itu, Ibnu Khaldun dalam analisisnya tentang peradaban menyatakan bahwa kota dan kemajuan hanya lahir bila negara dipimpin oleh raja atau pemimpin yang baik. Jika pemimpin baik, pembangunan berjalan. Jika pemimpin buruk, pembangunan berhenti. Artinya, kelangsungan negara sangat bergantung pada kualitas kepemimpinan.

Hal tersebut juga dapat dilihat dalam sejarah Indonesia. Presiden Soekarno membangun stadion Gelora Bung Karno, Monas, dan infrastruktur monumental lain sebagai simbol kemajuan. Presiden Soeharto dikenal sebagai Bapak Pembangunan. Di era Jokowi, pembangunan infrastruktur besar-besaran kembali dikerjakan hingga ia dijuluki Bapak Infrastruktur. Caranya berbeda tetapi tujuannya sama, yaitu membangun bangsa, sebab ciri negara maju adalah membangun.

Namun, pembangunan tentu tidak lepas dari kebutuhan dana yang besar. Menurut Gus Dubes, pada era Jokowi pembangunan digerakkan lewat APBN. Sedangkan pada era Prabowo, pembangunan digadang-gadang lebih mengandalkan investasi. Ia menekankan, apapun modelnya, pembangunan tetap merupakan kunci keberlangsungan bangsa.

Lebih jauh, demokrasi menurut Gus Dubes bukan hanya ruang kebebasan berpendapat, tetapi juga sarana membangun. “Selain membangun, kita harus menjaga bangunan. Jangan sampai ada demo seperti yang terjadi baru-baru ini di Maroko, Nepal, dan Indonesia,” ujarnya. Ia menambahkan, demonstrasi yang berujung kerusuhan justru merusak hasil pembangunan. Karena itu, stabilitas menjadi syarat utama.

Dalam konteks ini, Gus Dubes menilai blusukan penting untuk dilakukan. Bukan sekadar pencitraan, melainkan cara pemimpin menyampaikan visi pembangunan, meredam konflik, sekaligus menjaga persatuan. “Blusukan itu untuk menyampaikan visi pembangunan, melerai konflik, dan menjaga persatuan,” tegasnya.

Selain itu, ia juga menyoroti perbedaan antara kota dan desa. Kehidupan kota yang kosmopolit relatif aman karena masyarakatnya sibuk membangun, berinteraksi, berdagang, dan membentuk jaringan sosial. Sementara itu, di desa kerentanan konflik lebih tinggi. Tragedi konflik Dayak–Madura di Kalimantan menjadi contoh nyata bagaimana konflik horizontal menghentikan pembangunan.

Di sisi lain, pembangunan juga mencakup seni, arsitektur, dan identitas bangsa. “Arsitektur adalah seni kebanggaan umat Islam sejak dulu,” kata Gus Dubes. Sejarah membuktikan, masjid-masjid megah, benteng, dan kota-kota besar dalam peradaban Islam bukan hanya sarana praktis, tetapi juga lambang kejayaan. Begitu pula di Indonesia, Soekarno membangun stadion dan gedung-gedung monumental bukan hanya untuk fungsi, tetapi juga sebagai simbol harga diri bangsa.

Tidak berhenti di situ, salah satu isu penting yang ia soroti adalah warisan pembangunan. Apakah bangunan lama harus dihancurkan, dibiarkan, atau direnovasi? Menurutnya, warisan adalah bagian dari sejarah yang wajib dirawat. “Ada perdebatan, warisan zaman dulu dihancurkan, dibiarkan, atau direnovasi. Tapi ketika sudah jadi, ia harus dijaga,” jelasnya. Bangunan bukan hanya masa lalu, tetapi juga aset masa depan. Menghancurkan warisan sama dengan kehilangan pijakan sejarah.

Aspek lain yang jarang diperhatikan adalah kesehatan dalam pembangunan. Gus Dubes menekankan, bahwa bangunan harus memikirkan kesehatan. Air dan sirkulasi udara juga sangat penting. Bangunan yang megah tidak berarti apa-apa jika mengabaikan kenyamanan dan kesehatan penghuninya. Pembangunan sejati harus menyeluruh: indah dipandang, nyaman ditinggali, dan aman bagi masyarakat.

Selain itu, ia juga menegaskan bahwa pembangunan tidak mungkin dilakukan oleh satu pihak saja. “Pembangunan membutuhkan kerja Bersama antara pemerintah, swasta, masyarakat, bahkan antarnegara,” katanya. Ia menambahkan, pembangunan juga butuh waktu panjang. “Butuh waktu untuk membangun. Jika sekarang tidak, tidak akan jadi-jadi.” Dengan kata lain, pembangunan adalah proses jangka panjang. Menunda pembangunan berarti menunda masa depan.

Karena itu, pembangunan tidak hanya menyangkut gedung, jalan, atau pasar, melainkan juga tatanan sosial, kehidupan bersama, dan simbol-simbol persatuan. Gus Dubes bahkan menegaskan bahwa mahasiswa pun perlu membangun dirinya. Hal ini harus dilatih sejak dini agar terbentuk generasi yang siap melanjutkan pembangunan bangsa.

Kajian Gus Dubes memberi pelajaran penting bahwa pembangunan adalah kekuatan negara. Tanpa pembangunan, negara akan jatuh. Dengan pembangunan, negara akan tegak. Ia adalah kerja kolektif yang membutuhkan kepemimpinan visioner, stabilitas sosial, dan kesadaran masyarakat.

Ibnu Khaldun telah meletakkan fondasi: negara hanya bertahan sejauh ia membangun. Gus Dubes kemudian mengingatkan bahwa teori itu masih hidup, relevan, dan harus dijadikan pegangan. Karena itu, membangun bukan sekadar program pemerintah, tetapi tugas sejarah. Ia adalah syarat agar sebuah bangsa tetap ada, tetap bermakna, dan tetap dikenang.

Penulis : Muhammad Fahad Azizi (Kader Muda Nahdliyyin di Tunisia dan Mahasiswa Universitas Az-Zaitunah)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button