Peristiwa Penting Isra’ Mi’raj dalam Kitab Sejarah Nabi

PCINU Tunisia – Bulan Rabi’ul Awwal atau bulan Maulid sudah sepantasnya dimanfaatkan umat muslim di seluruh dunia untuk meneladani Nabi Muhammad sebagai uswah hasanah, teladan terbaik bagi umat. Muhammad-lah yang membawa risalah kenabian, sehingga setiap momentum Maulid semestinya menjadi ruang refleksi atas perjalanan dan keteladanan beliau.
Banyak cara umat Islam dalam merayakan Maulid, baik itu berupa kegiatan dengan tradisi-tradisi unik di berbagai tempat maupun dengan bentuk perayaan yang sederhana. Akan tetapi, semuanya sepakat dan memiliki titik temu yaitu dengan perayaan Maulid selalu menghadirkan kembali sirah nabi, syair, dan pujian-pujian kepada beliau. Bagi saya sendiri, salah satu caranya adalah dengan membaca sejarah Nabi yang ditulis oleh Qadhi Iyadh dalam bukunya as-Syifa.
Saya sempat terhenti ketika bacaan sampai pada bab tentang perjalanan malam Isra’ Mi’raj yang dilakukan oleh Muhammad. Dalam buku itu, Qadhi Iyadh membuka pembahasan dengan ayat yang berkaitan dengan peristiwa tersebut, yaitu Surat al-Isra’ ayat 1. Padahal, peristiwa ini hanya disebutkan sekali saja dalam al-Qur’an, akan tetapi mengapa kemudian muncul banyak sekali keterangan dalam tradisi hadis dan tafsir al-Qur’an yang menjelaskan ayat itu? Hal ini pula yang saya temukan dalam penjelasan Qadhi Iyadh.
Isra’ Mi’raj sendiri merupakan peristiwa penting dalam sejarah kenabian Muhammad yang terjadi sekitar tahun 620 M sebelum hijrah ke Madinah. Isra’ berarti perjalanan malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, sedangkan Mi’raj adalah peristiwa naiknya Muhammad ke Sidratul Muntaha. Saya juga menemukan riwayat-riwayat terkait kendaraan Buraq, langit tujuh, pertemuan dengan para nabi, perintah shalat lima waktu dan lain sebagainya.
Sejak awal, narasi tentang perjalanan Nabi ini telah memunculkan perdebatan besar, baik di kalangan sarjana muslim maupun Barat. Karena hal itu terjadi dalam pusaran dimensi yang melampaui realitas empiris. Para sarjanawan telah berdebat mengenai apakah perjalanan itu dilakukan Nabi dengan jasad saja, ruh saja, atau keduanya sekaligus. Dan menariknya lagi, al-Qur’an sendiri hanya menyebut perjalanan malam ke Yerussalem, atau Baitul Maqdis yang jaraknya bahkan ribuan kilometer dari Makkah. Sedangkan peristiwa kenaikan ke langit baru muncul lebih rinci dalam tradisi hadis dan penafsiran Islam belakangan. Inilah yang kemudian memicu perdebatan panjang di kalangan ulama maupun pemikir.
Para mufassir klasik, seperti al-Tabari dan al-Razi, misalnya. Keduanya lebih banyak menekankan aspek mukjizat, yakni bahwa Isra’ Mi‘raj adalah perjalanan nyata yang dilakukan Nabi dengan jasad dan ruh. Namun, dalam perkembangan terakhir, yakni era kontemporer, belakangan muncul mufassir dan pemikir kontemporer yang mencoba membaca Isra’ Mi‘raj secara simbolis, filosofis, bahkan psikologis, sehingga peristiwa ini dipahami sebagai pengalaman spiritual yang dialami oleh Muhammad, bukan sekadar perjalanan fisik.
Ketika Islamic Studies berkembang di barat, kajian orientalis juga melihat peristiwa Isra’ Mi‘raj sering diletakkan dalam kerangka perbandingan antara agama-agama terdahulu dan mitologi. Beberapa orientalis, seperti Ignaz dan Noldeke, berpendapat bahwa narasi perjalanan Nabi ke langit memiliki kesamaan dengan tradisi Yahudi, Kristen, dan mitos kuno, sehingga dianggap sebagai bagian dari myth of ascension (mitos naik ke langit) yang bersifat universal.
Teringat dengan definisi yang diusung oleh Bassam Jamal, seorang pemikir Tunisia, terkait gagasan al-Mutakhayyal al-Islami atau The Islamic Imaginary. Menurutnya, setiap agama memiliki mutakhayyal atau ruang imajinasi simbolik, yang terbentuk dari interaksi antara imajinasi universal manusia -yang terbentuk sejak ribuan tahun dalam berbagai budaya dan peradaban- dengan nilai-nilai iman, akidah, dan etika agama tersebut. Dengan demikian, Isra’ Mi‘raj dapat dipahami sebagai peristiwa sakral sekaligus konstruksi imajinasi Islam, yaitu ia menyerap unsur imajinasi kosmik universal, tetapi kemudian disaring, ditransformasi, dan ditafsirkan ulang oleh Islam sehingga sesuai dengan ajaran dan risalah Nabi Muhammad.
Dengan demikian, peristiwa Isra’ Mi‘raj tidak hanya diposisikan sebagai mukjizat semata, tetapi juga sebagai simbol perjalanan spiritual manusia menuju Tuhan, sekaligus menjadi ekspresi budaya Islam yang hidup dalam tradisi dan perayaan keagamaan. Akhirnya, peringatan Maulid seharusnya menggali lebih dalam lagi peristiwa-peristiwa penting sejarah yang melingkupi perjalanan Nabi dari lahir hingga wafatnya. Sehingga, kita sebagai umat Islam tidak ragu untuk terus menganut suri tauladan dan mengambil hikmah dari kisah Nabi.
Wallahu A’lam bi al-Shawwab